Stigma Negatif Picu Maraknya Kasus Bunuh Diri di Gunungkidul

Gunungkidulpost.com – WONOSARI – Kasus bunuh diri di Kabupaten Gunungkidul kian memprihatinkan. Belum lama ini, dua kasus kembali terjadi yakni di Saptosari dan Tanjungsari.

Hal itu membuat berbagai kalangan angkat bicara soal maraknya kasus bunuh diri.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Yayasan Inti Mata Jiwa (IMAJI) Joko Yanuwidiasta menyebut stigma negatif masyarakat bisa menjadi pendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya.

Merujuk data yang dihimpun IMAJI periode 2015-2017, 43 persen resiko bunuh diri disebabkan oleh faktor depresi. Sisanya karena sakit fisik menahun (26 persen), tanpa sebab (16 persen), gangguan jiwa berat (6 persen), masalah ekonomi (5 persen), dan masalah keluarga (4 persen).

“Tindakan melakukan bunuh diri ini lantaran seseorang mengalami depresi, dan stigma negatif semakin menguatkan hal itu,” jelas Joko belum lama ini.

Menurut Joko, stigma negatif yang diberikan masyarakat pada orang-orang yang mengalami depresi menyebabkan mereka enggan untuk melakukan pemulihan. Stigma negatif ditambah tekanan jiwa yang berlarut-larut membuat seseorang memilih bunuh diri sebagai jalan keluar.

“Rata-rata mereka yang mengalami depresi pun tidak mengerti bagaimana cara menangani secara tepat,” paparnya.

Sebagai yayasan yang berfokus pada masalah kesehatan jiwa, IMAJI berupaya melakukan pendampingan pada mereka yang mengalami depresi. Pendampingan juga dilakukan pada keluarga terkait agar bisa mengakses layanan kesehatan yang tepat.

Joko pun mengatakan pihaknya hadir mendampingi sebagai teman, dengan demikian mereka yang depresi pun jadi lebih nyaman untuk mengungkapkan permasalahannya.

“Kami pun mendorong agar mereka tidak malu dengan kondisinya, tidak malu untuk datang ke psikiater. Sayangnya upaya ini tidak banyak dilakukan,” kata Joko.

Ia juga mengungkapkan IMAJI menjadi salah satu lembaga yang mendorong lahirnya peraturan terkait penanganan kasus-kasus bunuh diri. Aturan tersebut terwujud dalam Peraturan Bupati Nomor 56/2018 tentang Penanggulangan Bunuh Diri.

Menurut Joko, salah satu bagian dari Perbup itu adalah menghilangkan diskriminasi bagi para penderita gangguan jiwa atau depresi saat mendapatkan layanan publik. Kendati begitu, ia menyebut diskriminasi masih terjadi.

“Tak hanya di layanan publik, diskriminasi juga masih terjadi di masyarakat. Padahal ini upaya menghapus stigma,” katanya.

Sementara itu, Psikiater RSUD Wonosari dr. Ida Rochmawati menyebut masyarakat Gunungkidul masih mengaitkan kasus-kasus bunuh diri dengan hal-hal yang berbau spiritual. Salah satunya mitos Pulung Gantung.

Kendati begitu Ida mengaku tidak bisa menyalahkan pandangan tersebut. Sebab Pulung Gantung ini menjadi dalih dari keluarga korban kasus bunuh diri untuk menghindari rasa malu dan stigma negatif lingkungan.

“Lebih baik mereka menuding si Pulung Gantung ini ketimbang mengakui aspek lain sebagai penyebab,” papar Ida.

Berkaitan dengan pelaksanaan Perbup, Ida menyatakan pihaknya tak memiliki wewenang untuk pelaksanaannya, mengingat hal itu jadi domain pemerintah daerah. Namun upaya implementasi Perbup terus dilakukan hingga saat ini.

Ida pun menegaskan perjuangan untuk meminimalisir kasus-kasus bunuh diri tetap dilakukan, dengan atau tanpa adanya Perbup tersebut.

“Kami akan terus berjuang dan berupaya untuk tetap menjadi penmaping masyarakat yang memiliki gejala seperti tekanan pikiran, depresi, stres, akan masalah mereka ada jalan keluar tanpa harus melakukan bunuh diri,” pungkasnya. (Tnt)