Bahasa Jawa, Dulu Kini Dan Nanti

BAHASA JAWA, DULU KINI DAN NANTI
Oleh : Rendy Hendrajaya Suryono, S.Pd
Guru Bahasa Jawa SMA 2 Playen

Mata Pelajaran Bahasa Jawa memang menjadi salah satu muatan lokal (mulok) yang dulu dianggap sebelah mata. Belum adanya aturan pasti atau gumathok yang mewajibkan penyelenggaraan pembelajaran sekitar tahun 2005 silam, menjadikan eksistensi mulok Bahasa Jawa tersebut turun drastis dan nyaris hilang terkikis zaman. Pasalnya, ada beberapa sekolah yang menyelenggarakan pembelajaran bahasa Jawa satu jam dalam sepekan, ada yang dua jam atau bahkan ada yang tidak menyelenggarakan sama sekali karena tidak wajib. Sementara memasuki 2008, mulai banyak pengangkatan guru Bahasa Jawa yang dilakukan pemerintah di wilayah DIY, bahkan formasi tersebut sebagian di antaranya diisi calon guru dari luar daerah. Fenomena ini justru memberikan dampak positif bagi eksitensi pendidikan Bahasa Jawa. Ketertarikan calon mahasiswa memilih program studi pendidikan Bahasa Jawa dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dengan harapan akan ada pengangkatan guru dengan kuota yang sama besarnya setiap tahunnya, sehingga ada peluang guru bahasa Jawa yang terpenuhi pada instansi sekolah diberbagai jenjang pendidikan.

Khususnya di wilayah DIY, pemerintah telah membuat regulasi terkait perkembangan penyelenggaraan pembelajaran mulok Bahasa Jawa di sekolah melalui peraturan daerah dan peraturan gubernur. Di antaranya mengacu Perda nomor 5 tahun 2011 pemerintah Provinsi DIY tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya,salah satunya bahasa daerah. Kemudian disusul Peraturan Gubernur DIY No 64 Tahun 2013 yang memuat aturan bahwa Bahasa Jawa dijadikan sebagai mulok wajib di seluruh sekolah atau madrasah.
Meski demikian masih banyak tantangan yang dihadapi dalam menjaga eksistensi dan pelestarian Bahasa Jawa ini. Antara lain, mata pelajaran Bahasa Jawa tersebut hingga saat ini masih dianggap sebelah mata Sepele oleh siswa. Tidak menarik, materi yang diaggap sulit menjadi salah satu alasan bagi siswa untuk tidak menyukai pelajaran bahasa Jawa. Ada anggapan bahwa untuk mapel Bahasa Jawa tidak akan mempengaruhi kelulusan siswa pada akhir studi pada jenjang sekolah. Hal ini, akan menjadi beban berat yang harus dipikul oleh guru-guru bahasa Jawa saat ini. Bagaimana guru tetap dapat membuat siswa semakin mencintai bahasa Jawa itu lalu merasa memiliki dan akan terus berupaya nguri-uri dan melestarikannya. Menjadi hal wajib untuk setiap guru bahasa Jawa untuk meningkatkan kompetensinya dan mengembangkan kemampuan dibidang akademisnya agar m apel Bahasa Jawa bisa tetap eksis ditengah modernisasi pendidikan dewasa ini.

Aksara Jawa masih menjadi salah satu materi mata pelajaran bahasa Jawa yang kurang diminati siswa. Sebagian besar siswa menganggap materi ini adalah materi tersulit selama belajar bahasa Jawa. Dari bentuk aksaranya yang hampir mirip satu dengan yang lain, belum lagi penulisan sandhangan dan juga pasangan. Miskonsepsi atau konsep yang salah kadang juga menjadi pemicu siswa menghindari materi ini. Setiap kali mendengar guru akan memulai pembelajaran aksara Jawa sebagian besar mengeluh sambat karena merasa kesulitan. “Ahhhh, angel.” Begitulah kira-kira. Padahal belajar aksara Jawa sama halnya belajar bahasa atau aksara asing yang pasti akan dikuasai kalau kita lebih dahulu menyukai dan mencintai apa yang akan kita pelajari tersebut.
Selain aksara Jawa , Bahasa Krama juga menjadi salah satu materi pelajaran yang kurang diminati siswa. Disamping mereka tak terbiasa menggunakan bahasa Jawa di rumah , anggapan belajar bahasa Jawa krama yang sulit dan ribet menjadi salah satu pemicunya. Akibatnya, banyak di antara siswa belum bisa menerapkan penggunaan bahasa yang tepat sesuai dengan unggah ungguh basa.

Menurut Harjawiyana dan Supriya (2001: 13) orang yang mampu menerapkan unggah ungguh basa jika berkomunikasi terdengar sopan dan membuat orang lain yang diajak berbicara senang mendengarnya.

Karena orang yang mahir dalam unggah-ungguh basa akan selalu mentaati tata bahasa dan terbentuk tatakrama yang baik. Sehingga ketika berbicara dengan orang lain dengan memperhatikan faktor usia,pendidikan, strata social,ekonomi , dan kedudukan.
Ironisnya, saat ini mayoritas bahasa Ibu anak-anak atau siswa sekarang yang digunakan untuk berkomunikasi di rumah adalah bahasa Indonesia. Kalaupun berkomunikasi dengan Bahasa Jawa pasti cenderung menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko. Sementara di sekolah, siswa harus dapat membedakan penggunaan bahasa ngoko dan bahasa krama padahal mereka sama sekali belum terbiasa menggunakan. Banyak peserta didik yang terbalik dalam menggunakan Bahasa Jawa.

Bahasa sopan yang seharusnya digunakan pada lawan bicara justru digunakan untuk dirinya sendiri . Maka sering terdengar kata “Bu, kula tak kondur riyin.”, “Eh, cah Bu Guru wis teka.”, dan kata-kata miris lainnya yang disebabkan karena komunikasi dengan menggunakan bahasa ragam krama terbatas disuatu lingkungan. Kata, kalimat tersebut bila didengar oleh orang yang paham bahasa pasti menjadi hal yang memprihatinkan.

Dari uraian di atas maka bukan hanya sekolah yang menjadi tumpuan utama berkembang atau lestarinya bahasa Jawa. Tiga pusat pendidikan, keluarga, masyarakat serta sekolah harus bersinergi dengan kuat untuk mendukung pelestarian bahasa Jawa.

Dengan pelestarian bahasa Jawa ini akan sangat berpengaruh dengan perkembangan karakter siswa, yang ini akan terbentuk jika semua pihak yang terkait saling mendukung dan bersinergi dengan baik. Di sekolah mungkin memang guru yang bertugas untuk mendukung tumbuh kembangnya bahasa Jawa.

Di keluarga tentu harus ada sarana komunikasi yang jelas jika anak atau siswa dituntut menggunakan bahasa Jawa dengan benar dan tepat. Di masyarakat bisa saja mulai digalakkan acara-acara yang menggunakan bahasa Jawa ragam krama agar anak atau siswa mulai terbiasa mendengar dan lama-lama akan terbiasa berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa ragam krama. (*)