Budaya  

Melihat Tradisi Nyadran Di Makam Raden Mas Djoyo Dikromo Secucu

Bupati Sunaryanta Menghadiri Upacara Nyadran di Padukuhan Blarangan, Sidorejo Ponjong, Senin (26/2/2024). (Foto: Ist)

Gunungkidulpost.com – Tradisi nyadran atau ziarah ke makam para leluhur sebelum memasuki bulan Ramadan masih dilestarikan masyarakat Jawa. Seperti nyadran di Raden Mas Djoyo Dikromo Secucu Ludiro, Padukuhan Blarangan, Sidorejo Ponjong, Senin (26/2/2024).

Hadir dalam acara tersebut, Bupati Gunungkidul Sunaryanta dan jajaran beserta pemerintah kalurahan setempat.

Di sekitar kompleks makam tersebut, tampak puluhan orang yang beberapa di antaranya mengenakan pakaian adat Jawa guna mengikuti tradisi upacara adat nyadran.

“Tradisi yang berumur ratusan tahun namun masih dilestarikan dapat menumbuhkan kerukunan dan rasa kebersamaan,” kata Bupati Sunaryanta dalam sambutanya.

Menurut dia, banyak tradisi dan budaya di Gunungkidul yang masih dilestarikan. Salah satunya yang digelar di makam Raden Mas Djoyo Dikromo Secucu Ludiro.

“Masyarakat disini masih semangat untuk melestarikan budaya nyadran. Keariffan lokal yang masih dijaga didalamnya menanamkan nilai kebersamaan dan gotong royong,” ujarnya.

Lurah Sidorejo, Ponjong, Sidiq Nur Safii mengatakan, upacara adat nyadran masih dilestarikan oleh masyarakat setempat. Acara ini merupakan bentuk rasa syukur kepada yang Maha pencipta. Yang digelar setiap tahun sekali dalam tanggalan Jawa 15 Ruwah.

“Dalam nyadran ini masyarakat membawa ayam ingkung, nasi uduk dan uborampe lainya,” jelasnya.

Ketua Panitia Suprapri mengungkapkan, menurut cerita nyadran ini untuk mengingat cikal bakal munculnya Padukuhan Blarangan. Konon dahulu ada punggowo Majapahit lari dari kerajaan. Keduanya yakni Tumenggung Wayang dan Tumenggung Sesuco Ludiro.

Mereka dikejar oleh para prajurit kerajaan, kemudian dipaksa untuk kembali. Karena menolak, akhirnya terjadi pertempuran hingga keduanya dikepung atau dikalang.

Berawal dari sana, jadilah nama Padukuhan Kalangan di Kecamatan Karangmojo. Ki Wayang saat itu sulit untuk ditaklukan. Tiga bagian tubuhnya dipisah dan membuatnya tersungkur tak berdaya lagi.

Akhirnya, Tumenggung Wayang wafat. Dengan peperangan tersebut, maka pertumpahan darah pun tejadi. Daerah itu kemudian disebut Blarangan, dari kata Mblarah Getih Blarah.

Setelah Ki Wayang wafat, Ki Sesuco Ludiro yang masih bertahan hidup kemudian mengajarkan cocok tanam dan menjadikan daerah subur makmur. Setelah sekian lama, Ki Seco akhirnya wafat dan dikebumikan di Blarangan. (Byu)