Tersandung Ekonomi Ngadiono Tinggal Di Kandang Ternak, Begini Kondisinya

GunungkidulPost.com – WONOSARI – Nasib naas dialami oleh salah satu keluarga dari pasangan Ngadiono (52) dan istrinya Sumini (44), warga Padukuhan Kedungranti, Kalurahan Nglipar, Kapanewon Nglipar, Gunungkidul.

Ngadiono bersama istri dan empat orang anaknya harus tinggal disebuah banguan non permanen didekat kandang hewan ternaknya berupa sapi dan kambing.

Bangunan berbahan kayu berukuran 2×3 meter dan berdindingkan terpal ini tak mampu untuk menampung dalam satu keluarga.

Bahkan bangunan berhimpitan kandang yang dia tempati ini berada di pinggir sungai Oya, yang disinyalir rawan terkena banjir dan bencana alam.

Setelah terjerat hutang dengan bank dan rentenir, Ngadiono terpaksa menjual satu-satunya rumah yang ditempatinya untuk melunasi hutang-hutangnya.

Saat ditemui Wartawan, Ngadiono mengaku bahwa kondisi jatuhnya perekonomian lantaran terlilit hutang di bank dan rentenir.

“Dulu saya usaha sablon, dan istri saya berjualan sayur keliling. Untuk modal terpaksa saya harus banyak berurusan dengan bank dan rentenir,” ujarnya saat ditemui di gubuknya, Selasa (31/8/2021).

Karena hutang yang semakin menumpuk dan untuk membiayai empat orang anak, akhirnya usaha Ngadiono dan istrinya bangkrut. Dengan terpaksa dia harus menjual rumah yang ditempatinya, bahkan sepeda motor satu-satunya yang digunakan istrinya untuk berjualan sayuran juga disita oleh bank, guna melunasi sisa angsuran.

Ngadiono sekeluarga akhirnya memutuskan merantau ke Bangka, dan mencoba mengadu nasib di sana dengan bekerja di perkebunan sawit.

“Di sana kami hidup tiga tahun, tapi keluarga tidak betah dan akhirnya kami harus kembali ke Kedungranti,” ujar Ngadiono meneruskan cerita hidupnya.

Alasan dia membangun kandang di dekat sungai Oya ini, di samping karena tanah ini milik orang tuanya, menurut aturan Perhutani, di lokasi ladang garapan memang tidak boleh untuk memelihara Sapi.

“Kami hidup di gubuk di tanah garapan milik Perhutani. Kami menempati kandang ini baru sekitar empat bulan,” ungkapnya.

Guna keperluan mandi dan mencuci sehari-hari Ngadiono mengambil air dari sungai Oya yang hanya berjarak sekitar 30 meter dari kandang miliknya. Sementara itu untuk fasilitas listriknya, ia harus menyambung dari instansi tetangganya.

“Harapan saya kedepan bisa menebus rumah milik saya yang dulu itu dibeli oleh adik,” paparnya.

Sementara itu, Dukuh Kedungranti, Tukiyarno mengaku bahwa salah satu warganya ini memang tinggal di kandang sapi baru sekitar empat bulan.
Pihaknya juga sudah mengupayakan untuk mencarikan solusi tempat tinggal, dengan menawarkan untuk menempati tanah kas desa yang tidak rawan terkena banjir.

Ia pun juga sudah memasukkan keluarga Ngadiyono sebagai salah satu keluarga penerima PKH. Sehingga tidak kurang-kurang pihaknya memberikan solusi untuk warganya.

“Jadi tidak benar kalau kabarnya tinggal di kandang sapi sudah bertahun tahun. Sebelum tinggal di sini, memang tinggal di gubuk lahan garapan Perhutani. Kami sudah menawarkan untuk menempati tanah kas desa, untuk rumah bisa diusahakan bareng-bareng seluruh warga, tapi Ngadiono belum mau alasannya tidak ada biaya dan merepotkan banyak orang,” terangnya.

Dengan banyaknya kabar yang mencuat di media sosial, Ngadiono akhirnya banyak simpati yang mulai memperhatikan.

“Kalau menurut kami kemungkinan ada dua pilihan, jika ada dana rumah Ngadiono yang lama bisa ditebus kembali. Tapi jika mau menempati tanah kas desa, para donatur bisa menyumbang berwujud material bangunan untuk membuat rumah,” pungkasnya. (Tnt)